KOMPAS.com - Skema upah di Indonesia rencananya akan diubah dari gaji bulanan menjadi per jam.
Hal itu akan diatur dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Skema ini pun menimbulkan pro dan kontra di sejumlah kalangan seperti serikat buruh dan pengusaha.
Di sisi lain, pemerintah juga menjelaskan alasan penerapan skema upah per jam di Indonesia.
Lantas seperti apa pendapat masing-masing pihak terkait upah per jam?
Baca juga: Ramai Upah Jadi Per Jam, Bagaimana Kondisi Buruh di Indonesia?
Alasan pemerintah
Alasan pemerintah merancang upah per jam adalah untuk mendukung fleksibilitas tenaga kerja.
Upah per jam tersebut diberikan bagi tenaga kerja yang berada di bawah ketentuan waktu kerja di Indonesia.
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur waktu kerja sebanyak 40 jam per minggu.
"Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas. Nanti di bawah itu hitungannya per jam," ujar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah usai rapat terbatas di Istana Bogor, seperti dikutip Kontan, Jumat (27/12/2019).
Hal itu menjadi fleksibilitas bagi dunia usaha dan pekerja. Pasalnya banyak sektor yang dinilai membutuhkan tenaga kerja dengan skema upah per jam.
Rencana kebijakan tersebut pun diakui Ida telah dikomunikasikan dengan pelaku usaha dan serikat pekerja.
Nantinya, skema penghitungan upah per jam itu akan ditentukan.
"Pasti ada ketentuannya dong, ada formula penghitungannya," kata Ida.
Baca juga: Ini Alasan Pemerintah Rancang Skema Upah Per Jam
Penolakan buruh
Sementara itu, serikat pekerja di Indonesia yang tergabung dalam Konfederensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rencana penerapan upah per jam.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono menilai, perhitungan upah yang dibayarkan per bulan dengan 8 jam kerja per hari atau 40 jam per minggu sudah tepat.
Termasuk hari libur resmi dan cuti, upah yang diterima para buruh tidak berkurang.
Berbeda dengan skema upah per jam, ketika ada hari libur nasional, maka tidak akan mendapatkan upah.
"Karena buruh sedang libur, tidak bekerja. Jika upah dibayarkan per jam, kita khawatir pendapatan yang diterima buruh kurang dari upah minimum," kata Kahar Kompas.com, Kamis (27/12/2019).
Alasan lainnya, bagi pengusaha yang memperkerjakan buruh bisa saja hanya diperkerjakan saat jam-jam tertentu.
"Misalnya, pekerja housekeeping di hotel. Upahnya hanya dihitung beberapa jam ketika membereskan kamar, saat tamu check out, dan sebagainya," kata dia.
Baca juga: Serikat Buruh Tolak Sistem Upah Per Jam, Ini Alasannya
Berbeda dengan buruh, kalangan pengusaha justru mendukung skema upah per jam.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mendukung wacana pemerintah mengubah upah tetap dari per bulan menjadi hitungan per jam.
Dia menilai, sistem upah yang didasarkan hitungan per jam tersebut akan menguntungkan perusahaan dan pekerja.
"Ya siaplah, kalau kita enggak ada masalah. Dan itu sudah biasa di negara lain juga melakukan hal yang sama. Itu juga bagus ke pekerjanya jadi dia bisa lebih fleksibel," katanya seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Kamis (27/12/2019).
Sementara terkait dengan nominal penggajian, Hariyadi menyebut hal itu bergantung pada kebijakan perusahaan.
Mengingat ini masih dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, maka terkait patokan nominal memiliki parameter yang banyak.
Baca juga: Pengusaha Nilai Sistem Upah Per Jam Format yang Menarik
(Sumber: Kompas.com/ Kiki Safitri, Ade Miranti Karunia | Editor: Erlangga Djumena, Sakina Rakhma Diah Setiawan)
Berita teratas - Google Berita
December 28, 2019 at 07:30AM
https://ift.tt/2tRp7xw
Pro Kontra Upah Per Jam, Antara Penolakan Buruh dan Dukungan Pengusaha - Kompas.com - KOMPAS.com
Berita teratas - Google Berita
https://ift.tt/2neeZMr
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pro Kontra Upah Per Jam, Antara Penolakan Buruh dan Dukungan Pengusaha - Kompas.com - KOMPAS.com"
Post a Comment